151 1 jika konteks pembahasannya sama, misalnya ayat Baqarah yang mutlak dengan ayat Baqarah yang muqayyad, maka yang muqayyad harus digunakan, sedangkan yang mutlak harus ditinggalkan. Ini sebagaimana dicontohkan di atas. 2 jika konteks pembahasannya berbeda, misalnya ayat Dhihâr yang menyatakan pembebasan budak secara mutlak, dengan pembebasan budak mukmin yang muqayyad dalam kasus pembunuhan yang salah, maka dalil muqayyad dalam kasus pembunuhan yang salah tersebut tidak bisa digunakan untuk men- taqyîd kemutlakan pembebasan budak dalam kasus Dhihâr. Sebaliknya, karena masing-masing merupakan dua konteks yang berbeda, maka masing-masing berlaku sesuai dengan konteksnya, dan bukan untuk konteks yang lainnya. Mujmal dan Mubayyan Secara etimologis, lafadz Mujmal berarti al-jam plural. Secara terminologis, adalah sesuatu yang menunjukkan lebih dari satu madlûl maksud, tanpa adanya pengistimewaan satu atas yang lainnya, dimana madlûl maksud-nya memerlukan penjelasan. Dikatakan sesuatu yang menunjukkan dan tidak dikatakan lafadz yang menunjukkan karena Mujmal tidak hanya berkaitan dengan lafadz, tetapi juga perbuatan. Ini jelas berbeda dengan Am- Khâsh atau Muthlaq-Muqayyad, yang masing-masing berkaitan dengan lafadz. Dikatakan lebih dari satu madlûl maksud karena dengan begitu deskripsi tersebut akan mengeluarkan lafadz mutlak yang hanya menunjukkan satu madlûl maksud, seperti Raqabah -yang hanya berarti budak, selain orang merdeka- sementara lafadz Sulthân -yang bisa berarti hujah dan penguasa- telah menunjukkan lebih dari satu madlûl maksud, dan karenanya disebut Mujmal. Dikatakan tanpa adanya pengistimewaan satu atas yang lainnya agar bisa mengeluarkan lafadz yang salah satu madlûl maksud-nya diunggulkan atas yang lain, seperti Haqîqah dan Majâz atau Dalâlah Iqtidhâ yang dipalingkan dari konotasi kalimat berita menjadi thalab. Dikatakan madlûl maksud-nya memerlukan penjelasan agar bisa 152 mengenyahkan lafadz umum dari deskripsi, karena sekalipun lafadz tersebut meliputi jenis derivatnya, namun ia tidak memerlukan penjelasan. Berbeda dengan Mujmal, yang memang memerlukan penjelasan. Misalnya, al-ayn mata yang khasiatnya untuk melihat, adalah lafadz umum. Bukan lagi lafadz Mujmal, karena tidak perlu penjelasan, atau qarînah untuk menentukan maksudnya. Berbeda jika dikatakan apa komentar anda tentang al-ayn? Dalam konteks pertanyaan ini, lafadz al-ayn adalah Mujmal, karena pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab, kecuali setelah diberi penjelasan atau keterangan dengan qarînah lain. Melalui batasan di atas, maka konteks Mujmal bisa meliputi dua aspek, perbuatan dan perkataan, atau bahasa verbal dan lisan. Dalam konteks yang pertama, bahasa verbal, tidak ada lafadz, sementara dalam bahasa lisan terdapat lafadz. Karena itu, Mujmal meliputi keduanya, lafadz dan perbuatan. Dengan demikian, istilah shîghat yang berkonotasi struktur harfiah, tidak berlaku dalam konteks Mujmal-Mubayyan. Maka, setelah menganalisis nas-nas syara, khususnya al-Qur’an, konteks Mujmal -sebagaimana konotasi yang telah dideskripsikan di atas- mempunyai bentuk sebagai berikut 1. lafadz Musyratak Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu makna. Lafadz Musytarak ini merupakan lafadz Mujmal yang membutuhkan penjelasan, melalui salah satu madlûl maksud-nya. Misalnya, lafadz Quru dalam firman Allah } َﺔَﺛَﻼَﺛ ﱠﻦِﻬِﺴُﻔْﻧَﺄِﺑ َﻦْﺼﱠﺑَﺮَﺘَﻳ ُﺕﺎَﻘﱠﻠَﻄُﻤْﻟﺍَﻭ ٍءﻭُﺮُﻗ { Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu tiga kali Qurû. al-Baqarah 228 adalah lafadz Mujmal, yang mempunyai konotasi suci dan haid, sebab masih memerlukan penjelasan melalui sejumlah indikasi qarînah. 2. Lafadz Murakkab adalah lafadz yang terbentuk lebih dari satu lafadz. Lafadz Murakkab ini merupakan lafadz Mujmal jika konotasinya memunculkan spekulasi lebih dari satu maksud; 153 dimana untuk menentukannya perlu penjelasan. Misalnya, lafadz al-Ladzî biyadih[i] uqdat[u] an-nikâh orang yang di tangannya memegang otoritas tali perkawinan dalam firman Allah } َﻮُﻔْﻌَﻳ ْﻭَﺃ ِﺡﺎَﻜﱢﻨﻟﺍ ُﺓَﺪْﻘُﻋ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ﻱِﺬﱠﻟﺍ { Atau dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. al- Baqarah 238 adalah lafadz Mujmal, yang mempunyai konotasi suami atau wali pihak perempuan. 3. kata ganti dhamîr yang merujuk lebih pada satu arah Kata ganti dhamîr yang merujuk lebih pada satu rujukan mudhmar minhu yang sederajat -karena memerlukan penjelasan melalui sejumlah indikasi lain- maka bisa disebut lafadz Mujmal. Misalnya, firman Allah } َﻛ ْﻦَﻣ ُﻢ ِﻠَﻜْﻟﺍ ُﺪَﻌ ْﺼَﻳ ِﻪ ْﻴَﻟِﺇ ﺎ ًﻌﻴِﻤَﺟ ُﺓﱠﺰ ِﻌْﻟﺍ ِﻪﱠﻠِﻠَﻓ َﺓﱠﺰِﻌْﻟﺍ ُﺪﻳِﺮُﻳ َﻥﺎ ُﺢِﻟﺎﱠﺼﻟﺍ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ ُﺐﱢﻴﱠﻄﻟﺍ ُﻪُﻌَﻓْﺮَﻳ { Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan dinaikkan-Nya. Fâthir 10 Frasa Yarfauh[u] menaikannya terbentuk dari lafadz yarfa[u] menaikkan dan h[u] nya. Dalam hal ini, kata ganti dhamîr h[u] nya -yang merupakan kata ganti laki-laki pihak ketiga tunggal- bisa merujuk kepada lafadz al-amal as-shâlih amal kebajikan atau al-kalim[u] at-thayyib[u] perkataan-perkataan yang baik. Jika merujuk kepada lafadz al-amal as-shâlih amal kebajikan berarti konotasinya adalah Allah akan mengangkat al-amal as-shâlih amal kebajikan tersebut, dalam arti menerimanya. Jika merujuk kepada lafadz al-kalim[u] at-thayyib[u] perkataan-perkataan yang baik, berarti konotasinya adalah amal kebajikan tersebut 154 akan mengangkat al-kalim[u] at-thayyib[u] perkataan- perkataan yang baik tadi kepada Allah. Dua konotasi ini, sama-sama benarnya atau sederajat . 4. spekulasi berhenti waqf dan mulai juga mengundang spekulasi maksud makna. Karena itu, ini juga merupakan bentuk Mujmal. Misalnya, firman Allah } َﻳ ﺎَﻣَﻭ ﺍ ﱠﻻِﺇ ُﻪَﻠﻳِﻭْﺄَﺗ ُﻢَﻠْﻌ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﻲِﻓ َﻥﻮُﺨِﺳﺍﱠﺮﻟﺍَﻭ ُﻪﱠﻠﻟ { Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. Ali Imrân 7 Berhenti setelah masing-masing bacaan Allâh, atau bacaan wa ar-râsikhûna fî al-ilm[i] akan mempunyai implikasi maksud yang berbeda. Jika berhenti pada bacaan Allâh, konotasinya hanya Allah yang Maha Mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut. Jika berhenti pada bacaan wa ar- râsikhûna fî al-ilm[i], berarti konotasinya Allah dan orang- orang yang mendalam ilmunya sama-sama mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut. Masing-masing, baik waqf maupun bermula -dengan masing-masing implikasi konotatifnya- memerlukan penjelasan dari indikasi yang lain. Konteks seperti ini juga bisa disebut Mujmal. 5. ambiguitas makna yang digunakan itu bisa saja terjadi karena lafadznya itu sendiri mubham kabur, tidak jelas maksud dan maknanya bagi pihak yang dikenai seruan al-mukhâthab, kecuali dengan penjelasan sebagai tafsir atas ambiguitasnya, atau melalui sejumlah indikasi lain. Misalnya, firman Allah } ﻲِﻓ ْﻢُﻜﻴِﺘْﻔُﻳ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻞُﻗ َﻚَﻧﻮُﺘْﻔَﺘْﺴَﻳ ِﺔَﻟَﻼَﻜْﻟﺍ َﺲْﻴَﻟ َﻚَﻠَﻫ ٌﺅُﺮْﻣﺍ ِﻥِﺇ َﻳ ْﻢَﻟ ْﻥِﺇ ﺎَﻬُﺛِﺮَﻳ َﻮُﻫَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎَﻣ ُﻒْﺼِﻧ ﺎَﻬَﻠَﻓ ٌﺖْﺧُﺃ ُﻪَﻟَﻭ ٌﺪَﻟَﻭ ُﻪَﻟ ْﻦُﻜ ﺍﻮُﻧﺎ َﻛ ْﻥِﺇَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻥﺎَﺜُﻠﱡﺜﻟﺍ ﺎَﻤُﻬَﻠَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﻨْﺛﺍ ﺎَﺘَﻧﺎَﻛ ْﻥِﺈَﻓ ٌﺪَﻟَﻭ ﺎَﻬَﻟ ْﻢ ُﻜَﻟ ُﻪ ﱠﻠﻟﺍ ُﻦﱢﻴَﺒُﻳ ِﻦْﻴَﻴَﺜْﻧُﻷﺍ ﱢﻆَﺣ ُﻞْﺜِﻣ ِﺮَﻛﱠﺬﻠِﻠَﻓ ًءﺎَﺴِﻧَﻭ ًﻻﺎَﺟِﺭ ًﺓَﻮْﺧِﺇ ٌﻢﻴِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﺑ ُﻪﱠﻠﻟﺍَﻭ ﺍﻮﱡﻠِﻀَﺗ ْﻥَﺃ { 155 Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki- laki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara- saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki- laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. an-Nisâ 176 Lafadz Kalâlah adalah lafadz Mujmal, dan masih memerlukan penjelasan, yang kemudian maksudnya dijelaskan oleh Allah SWT. dalam ayat yang sama. 6. lafadz Manqûl yang dimaksud di sini adalah lafadz yang mengalami pengalihmaknaan dari konteks kebahasaan haqîqah lughawiyyah kepada konteks syara haqîqah syariyyah. Di lihat dari aspek pengalihmaknaan lafadz tersebut, dari satu konteks kepada konteks lain, sehingga mempunyai implikasi makna A atau B, bisa dikatakan bahwa lafadz tersebut merupakan lafadz Mujmal yang masih memerlukan penjelasan. Misalnya » ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ِﺔَﺤِﺗﺎَﻓ ِﺓَءﺍَﺮِﻘِﺑ ﱠﻻِﺇ َﺓَﻼَﺻ َﻻ Tidak sah suatu shalat, kecuali dengan membaca Fâtihah al-Kitâb surat al-Fâtihah. at-Tirmîdzi dari Abû Hurairah Lafadz Shalât dalam konteks hadits ini adalah lafadz Umûm, karena berbentuk ism an-Nakirah dalam struktur kalimat negatif. Lafadz shalât di sini bisa diaplikasikan untuk semua kasus shalat, sehingga tidak sah shalat apapun kecuali dengan 156 membaca surat al-Fâtihah. Ini jelas berbeda dengan lafadz Shalât dalam firman Allah } ﺍﻮُﻤْﻴِﻗَﺃَﻭ َﺓَﻼﱠﺼﻟﺍ { Dan dirikanlah shalat. Yûnus 87 yang merupakan lafadz Mujmal, karena masih memerlukan penjelasan, baik melalui perkataan maupun perbuatan Rasulullah saw. mengenai tatacaranya. Misalnya, bagaimana Rasulullah mengajarkan cara shalat kepada kaum Muslim, dan bagaimana beliau shalat di depan mereka, agar mereka mengikuti tatacara shalat seperti shalat beliau. Mengenai Mubayyan, atau sesuatu yang dijelaskan, adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan, baik secara terpisah maupun tidak. Dengan demikian, jika bentuk Mujmal tersebut telah hilang ambiguitasnya, kemudian maknanya menjadi jelas atau madlûl yang digunakannya telah dimenangkan, berarti bentuk tersebut menjadi Mubayyan. Karena itu, bentuk Mubayyan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi 1. perkataan Mubayyan dalam bentuk perkataan ini, misalnya bisa dicontohkan dalam firman Allah } ﺎًﻋﻭُﺰَﺟ ﱡﺮﱠﺸﻟﺍ ُﻪﱠﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇ ~ َﺨْﻟﺍ ُﻪﱠﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇَﻭ ﺎًﻋﻮُﻨَﻣ ُﺮْﻴ { Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. al-Maârij 20-21 yang merupakan Bayân Qawlî terhadap kemujmalan lafadz Halû[an] dalam firman-Nya } ﻮُﻠَﻫ َﻖِﻠُﺧ َﻥﺎَﺴْﻧِﻹﺍ ﱠﻥِﺇ ﺎًﻋ { Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. al-Maârij 19 157 2. perbuatan Mubayyan dalam bentuk perbuatan ini, misalnya bisa dicontohkan dalam konteks penjelasan Rasul » ْﻢُﻜَﻜِﺳﺎَﻨَﻣ ﺍﻭُﺬُﺧْﺄَﺘِﻟ Hendaknya kalian mengambil tatacara ibadah haji kalian dariku. Muslim dari Jâbir yang merupakan Bayân Filî terhadap kemujmalan perintah haji. 3. perkataan dan perbuatan Mubayyan dalam bentuk perkataan dan perbuatan ini, bisa terjadi 1 jika masing-masing perkataan dan perbuatan tersebut konteks maksudnya sama-sama layak untuk menjelaskan maksud kemujmalan seruan pembuat syartiat; dimana satu sama lain bisa saling menguatkan maksudnya. Misalnya ketika Rasul menjelaskan tatacara shalat dengan perbuatan beliau, kemudian diikuti dengan pernyataan beliau » ﻲﱢﻠَﺻُﺃ ﻲِﻧﻮُﻤُﺘْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻤَﻛ ﺍﻮﱡﻠَﺻَﻭ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Bukhâri dari Mâlik Maka, masing-masing hadits tersebut merupakan Bayân Filî dan Qawlî terhadap kemujmalan perintah shalat. 2 jika masing-masing berbeda konteks penunjukan maksudnya, maka masing-masing tidak bisa menjadi penjelasan, kecuali setelah melalui analisis usul terhadap kedua konteks dalil tersebut, baik untuk dikompromikan ataupun diunggulkan salah satunya. Penjelasan mengenai hal ini secara lebih rinci dalam pembahasan tarjîh, dalam bab berikutnya. Hanya sekedar contoh, dalam hal ini bisa diambil hadits Nabi, yang beliau nyatakan setelah turunnya ayat haji 158 » َﻃ ْﻒ ُﻄَﻴْﻠَﻓ ٍﺓَﺮ ْﻤُﻋ ﻰ َﻟِﺇ ﺎﺠَﺣ َﻥِﺮَﻗ ْﻦَﻣ ﻰَﻌ ْﺴَﻳَﻭ ﺍًﺪ ِﺣﺍَﻭ ﺎ ًﻓﺍَﻮ ﺍًﺪِﺣﺍَﻭ ﺎًﻴْﻌَﺳ Siapa saja yang menyertakan haji dengan umrah, hendaknya thawaf sekali, dan sai sekali. at-Tirmîdzi Namun, ada riwayat lain mengenai perbuatan Rasul, bahwa beliau pernah haji dan umrah, namun tidak hanya thawaf dan sai, masing-masing sekali. Beliau justru telah melakukannya masing-masing dua kali. 8 Maka untuk mengetahui hal ini, bisa dijelaskan sebagai berikut a- jika diketahui, bahwa yang terdahulu adalah penjelasan lisan, maka penjelasan lisan tersebut adalah yang dikehendaki. Artinya, thawaf dan sai, masing-masing hanya sekali, sementara tambahannya adalah sunah. b- jika diketahui, bahwa yang terdahulu adalah penjelasan verbal, maka penjelasan lisan itulah yang dikehendaki. Adapun tambahan yang terdapat dalam penjelasan verbal yang lebih dulu tadi; bisa jadi merupakan kekhususan bagi Rasul, jika disertai indikasi takhshîsh, dan bisa jadi tambahannya -yaitu thawaf dan sai lebih dari sekali- tadi dihapus dengan penjelasan lisan. Alasannya, karena konteks penunjukan makna penjelasan lisan bagi ummat Nabi saw. itu lebih kuat ketimbang penjelasan verbal beliau. c- jika tidak diketahui mana yang terdahulu, maka lebih baik penjelasan lisan dianggap lebih dulu. Sebab, tambahannya -sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan verbal- dalam konteks ini adalah sunah. Jika dibalik, artinya penjelasan verbalnya lebih 8 atTirmîdzi, Sunan atTirmîdzi, hadits no. 870. 159 dahulu, berarti tambahannya ada kemungkinan telah dihapus, atau dikhususkan untuk Nabi. Sementara, bagi ummat Nabi saw. menggunakan dua dalil sekaligus, lebih baik ketimbang menggugurkan salah satunya. Mubayyan konteks yang dijelaskan pada dasarnya merupakan bentuk Mujmal yang disertai penjelasan, baik secara terpisah maupun tidak. Karena itu, Mubayyan -atau Mujmal yang disertai penjelasan- tersebut bisa diklasifikasikan menjadi 1. Mubayyan Muttashil adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nas atau dalil. Misalnya, kemujmalan lafadz Kalâlah, telah dijelaskan dengan penjelasan yang terdapat dalam nas atau dalil yang sama. Allah berfirman } ِﺔَﻟَﻼَﻜْﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻢُﻜﻴِﺘْﻔُﻳ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻞُﻗ َﻚَﻧﻮُﺘْﻔَﺘْﺴَﻳ َﺲْﻴَﻟ َﻚَﻠَﻫ ٌﺅُﺮْﻣﺍ ِﻥِﺇ ٌﺪَﻟَﻭ ُﻪَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ْﻢَﻟ ْﻥِﺇ ﺎَﻬُﺛِﺮَﻳ َﻮُﻫَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎَﻣ ُﻒْﺼِﻧ ﺎَﻬَﻠَﻓ ٌﺖْﺧُﺃ ُﻪَﻟَﻭ ﱡﺜﻟﺍ ﺎَﻤُﻬَﻠَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﻨْﺛﺍ ﺎَﺘَﻧﺎَﻛ ْﻥِﺈَﻓ ٌﺪَﻟَﻭ ﺎَﻬَﻟ ﺍﻮُﻧﺎ َﻛ ْﻥِﺇَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻥﺎَﺜُﻠ ْﻢ ُﻜَﻟ ُﻪ ﱠﻠﻟﺍ ُﻦﱢﻴَﺒُﻳ ِﻦْﻴَﻴَﺜْﻧُﻷﺍ ﱢﻆَﺣ ُﻞْﺜِﻣ ِﺮَﻛﱠﺬﻠِﻠَﻓ ًءﺎَﺴِﻧَﻭ ًﻻﺎَﺟِﺭ ًﺓَﻮْﺧِﺇ ٌﻢﻴِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﺑ ُﻪﱠﻠﻟﺍَﻭ ﺍﻮﱡﻠِﻀَﺗ ْﻥَﺃ { Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki- laki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara- saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki- laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. an-Nisâ 176 160 Kalâlah adalah orang yang meninggal dunia, yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin al-Khaththâb, seraya menyatakan » ُﻪَﻟ َﺪَﻟَﻭ َﻻ ْﻦَﻣ ُﺔَﻟَﻼَﻜْﻟَﺍ Kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak. 9 2. Mubayyan Munfashil adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nas atau dalil. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil Mujmal. Dalam hal ini, bisa berupa 1 al-Quran dengan al-Quran Dalil Mujmal al-Quran yang dijelaskan dengan penjelasan al-Quran, misalnya firman Allah } ﺍ ﱠﻻِﺇ ُﻪَﻠﻳِﻭْﺄَﺗ ُﻢَﻠْﻌَﻳ ﺎَﻣَﻭ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﻲِﻓ َﻥﻮُﺨِﺳﺍﱠﺮﻟﺍَﻭ ُﻪﱠﻠﻟ { Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. Ali Imrân 7 Allâh wa ar-râsikhûna fî al-ilm[i] Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah konteks Mujmal karena ambiguitas huruf Waw, yang bisa berkonotasi athaf kata penghubung, atau istinâf kata permulaan kalimat baru. Jika Waw tersebut dipercayai sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya, namun jika Waw tersebut dipercayai sebagai 9 Ibn Qudâmah, alMughnî, juz VI, hal. 168. Lihat, Rawwâs Qalah Jie, Mawsûah Fiq Umar ibn alKhaththâb, Dâr anNafâis, Beirut, cet. V, 1997, hal. 747748. 161 kata permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah hanya Allah yang mengetahui takwilnya, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya -yang nota bene tidak mengetahuinya- mengatakan Kami beriman. Karena itu, ini diperlukan penjelasan. Dan, penjelasannya tidak terdapat dalam satu nas. Antara lain, firman Allah SWT } َﻠَﻋ ﺎَﻨْﻟﱠﺰَﻧَﻭ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﻟ ﺎًﻧﺎَﻴْﺒِﺗ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ َﻚْﻴ { Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab Al Quran untuk menjelaskan segala sesuatu. an-Nahl 89 Pernyataan Allah yang menyatakan, bahwa al-Quran adalah tibyân[an] likull[i] syay[in] untuk menjelaskan segala sesuatu, dan ia diturunkan kepada manusia, menunjukkan bahwa tidak ada kandungan al-Quran yang tidak dapat difahami oleh manusia, termasuk di antaranya ayat-ayat Mutasyâbihât. Dengan demikian, ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut tidak hanya diketahui oleh Allah, tetapi juga dapat difahami orang-orang yang ilmunya mendalam. Indikasi yang kedua, bahwa konteks pernyataan Allah Yaqulâna âmannâ mereka mengatakan beriman, juga menguatkan konotasi di atas. Sebab, untuk menyatakan beriman, tidak memerlukan ilmu yang mendalam. Artinya, orang biasa dengan kadar intelektual biasapun bisa mempunyai keimanan yang mendalam. Inilah yang juga dibuktikan oleh keimanan orang Arab Badui. Semuanya ini merupakan indikasi yang menguatkan penjelasan, bahwa Waw yang terdapat dalam nas di atas merupakan kata penghubung. Dengan demikian, penjelasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan kemujmalan Allâh wa ar-râsikhûna fî al-ilm[i] Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah penjelasan melalui sejumlah indikasi sebagaimana yang dijelaskan di atas. Ini sekaligus menunjukkan, bahwa ini 162 merupakan Mubayyan Munfashil, karena penjelasannya tidak terdapat dalam nas yang sama, melainkan dalam nas-nas lain. 2 al-Quran dengan as-Sunnah dalil Mujmal al-Quran yang dijelaskan dengan as-Sunnah, misalnya firman Allah } ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ ﺎَﻣ ْﻢُﻬَﻟ ﺍﻭﱡﺪِﻋَﺃَﻭ ٍﺓﱠﻮُﻗ { Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. al-Anfâl 60 Dalil ini dijelaskan dengan dalil lain, yaitu as-Sunnah » ِﻪ ﱠﻠﻟﺍ َﻝﻮ ُﺳَﺭ ُﺖْﻌِﻤ َﺳ r ُﻝﻮ ُﻘَﻳ ِﺮ َﺒْﻨِﻤْﻟﺍ ﻰ َﻠَﻋ َﻮ ُﻫَﻭ } ٍﺓﱠﻮُﻗ ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ ﺎَﻣ ْﻢُﻬَﻟ ﺍﻭﱡﺪِﻋَﺃَﻭ { ُﻲْﻣﱠﺮﻟﺍ َﺓﱠﻮُﻘْﻟﺍ ﱠﻥِﺇ َﻻََﺃ ُﻲْﻣﱠﺮﻟﺍ َﺓﱠﻮُﻘْﻟﺍ ﱠﻥِﺇ َﻻَﺃ ُﻲْﻣﱠﺮﻟﺍ َﺓﱠﻮُﻘْﻟﺍ ﱠﻥِﺇ َﻻَﺃ Saya Uqbah mendengar Rasulullah saw. bersabda -sementara beliau masih di atas mimbar- Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Muslim dari Uqbah bin Amir Nâsikh dan MansûkhDenganmemahami kaidah-kaidah tersebut di atas maka seorang mufassir kecil keungkinan akan mengalami kesalahan saat menafsirkan suatu ayat dari Al-Qur'an. Oleh karena itu, di sini kami tim penulis akan mencoba sedikit mengulas tentang Muthlaq dan Muqayyad, Mujmal dan Mubayyan, serta Ta'rif dan Tankir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur'an dan al-Hadits merupakan pedoman asas bagi umat islam. Setiap tindakan orang muslim haruslah sesuai dengan tuntutannya atau setidaknya tidak bertentangan dengan keduanya. Akan tetapi untuk memahami maksud yang terkandung dalam kedua sumber asas tersebut tidaklah semudah yang kita flkirkan dengan akal, tetapi memerlukan ilmu dalam membantu menjelaskan kesamaran dan menyingkap maksud-maksud al-Qur'an dan al-Hadits. Salah satu ilmu tersebut adalah ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, suatu pembahasan usul fiqh yang dapat membantu mengenali kejelasan suatu makna dalam al-Qur’an dan al-Hadits ialah mujmal dan mubayyan. Pembahasan mengenai ini sangat penting karena untuk mendapatkan pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu makna perkataan yang diteliti. Dengan mengetahui mujmal dan mubayyan ini, kita dapat mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut karena masih bersifat umum dan jelas sehingga maksudnya dapat diuraikan. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan mujmal? 2. Apa yang dimaksud dengan mubayyan? C. Tujuan Masalah 1. Dapat mengetahui dan memahami materi mujmal. 2. Dapat mengetahui dan memahami materi mubayyan. BAB II PEMBAHASAN Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam atau majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafaz yang global, masih membutuhkan penjelasan bayan atau penafsiran tafsir. Seperti pada Al-Qur'an Surat An-Nur ayat 56, yang masih memerlukan penjelasan tentang tatacara.[1] “ dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” QS. An Nur 56. Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmaI atau belum jelas karena tidak diketahui tata caranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tata caranya. Dan Kata ”menunaikan zakat” dalam ayat di atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih diperlukan dalil lainnya. Apabila terdapat lafadz mujmal pada nash syari’ sebelum ditafsirkan oleh syari’ itu sendiri, untuk itu dikemukakan oleh sunah amaliah dan qouliah, menafsirkan sembahyang dan menerangkan rukun-rukunya, syarat-syaratnya dan cara-carnya. Kata Nabi SAW, sembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku sembahyang. Demikian juga nabi menafsirkan zakat dan segala hal yang dikemukakan oleh secara mujmal oleh nash Al-Quran. Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penefsiran dari pembuat mujmal. Mujmal adalah lafaz yang tidak dapat dipahami dari lafaz tersebut ketika menyebut sesuatu, tetapi dipahami dari lafaz tersebut lebih dari satu hal dan tidak ada spesifikasi atas hal tersebut jika dibandingkan dengan yang lain. Dengan kata lain, mujmal adalah sesuatu yang tidak gamblang dalalah-nya dan yang dimaksud bahwa mujmal itu adalah lafaz yang memiliki dalalah, tetapi dalalah tersebut tidak jelas. Kadang-kadang itu terjadi pada lafaz tunggal yang musytarak, bisa jadi di antara dua hal yang berbeda, seperti Al 'ain untuk emas serta matahari dan Al-Mukhtar untuk fa'il dan maf'ul. Selain itu, untuk dua hal yang saling bertentangan, seperti Al quru' untuk suci dan haid. Kadang-kadang, terdapat pada lafaz yang tersusun, seperti firman-Nya dalam Al-Baqarah 237. وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ Artinya Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. Al-Baqarah 237 Pada ayat ini ada keraguan antara suami dengan wali. Kadang-kadang terjadi karena keraguan pada tempat kembalinya dhamir pada yang sebelumnya, karena pernyataan Kullu maaf 'allamahul faqiihu fahuwa kamma 'allamahu. Dhamir pernyataan tersebut mengandung keraguan antara kembali pada faqih atau pada yang diketahui dari faqih tersebut. Kadang-kadang hal tersebut terjadi karena keluarganya lafaz dari urf Syara' sebagai mana yang di tetapkan kan dalam bahasa bagi yang menyatakan hal itu, tentu sebelum ada penjelasan pada kita sebagai mana firman Allah SWT dalam Al-Baqarah 53. وَإِذْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ Artinya Dan ingatlah, ketika Kami berikan kepada Musa Al Kitab Taurat dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk. Al-Baqarah 53. Dan Ali-Imran 37 فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۖ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۖ قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَا ۖ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ Artinya Maka Tuhannya menerimanya sebagai nazar dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. Ali-Imran 37. Firman Allah ini merupakan firman yang mujmal karena pada lafadz itu tidak ada informasi tentang apa yang dimaksud Melalui aktivitas-aktivitas yang telah ditentukan. Oleh karena itu, sebagai suatu kewajiban, lafaz tersebut mujmal sifatnya. Adapun yang dimaksud dengan tidak adanya kejelasan adalah tidak ada kejelasan berdasarkan dalam bahasa, bisa dengan penetapan bahasa, dengan syara', atau dengan urf. Maka, suatu lafaz tidak bisa dipahami ketika menyebut sesuatu tertentu, bahkan dipahami lebih dari suatu hal dan tidak ada perbedaan dengan hal lain menurut orang arab, baik dengan penetapan bahasa, Syara', maupun urf. Hal-hal yang bisa dipahami dari suatu lafadz sesuatu, baik dengan penetapan bahasa, Syara' maupun urf tidak dipandang sebagai mujmal. Artinya apa yang dalalah-nya berdasarkan bahasa atau Syara' atau urf itu tidak dikategorikan sebagai sebagai mujmal. Atas dasar ini, penggalan dan pengharaman yang di lebalkan ada objek-objek tertentu, seperti firmannya dalam An-nisa 23. حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا Artinya Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu mertua; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya; dan diharamkan bagimu isteri-isteri anak kandungmu menantu; dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang An-nisa 23.[2] Dan Al-ma'idah 3 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ Artinya Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih tidak atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-ma'idah 3 Tidak ada mujmal di dalamnya. Sesungguhnya setiap orang dan sabda Rasulullah Saw. Tidak puasa orang yang puasa tidak sampai malam." Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Majah. Dan sabda Rasulullah Saw., "Tidak ada nikah, kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil." Hadis dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni.Karena sebab-sebab beliau di atas adalah pemahaman berdasarkan dalalah iqtidha', dalalah-nya pun jelas sesuai dengan penetapan bahasa. Karena dalalah iqtidha' itu termasuk bagian dari adalah lafadz dari bahasa menurut penetapan, lafaz-lafaz di atas tidak termasuk yang mujmal. Dengan demikian, setiap hal yang jelas penunjukannya dengan salah satu dalalah bahasa, baik berdasarkan penetapan, urf maupun syar'i tidak dikategorikan sebagai lafaz yang mujmal, tetapi merupakan lafaz yang mengandung majaz. Dengan kata lain, lafaz yang dipahami melalui qarinah, yang diperoleh dari dalalah lafaz, dalalah dari makna atau yang lainnya. Selama hal tersebut memungkinkan atas lafadz manapun, mujmalpun di nafikan dari lafadz tersebut. Objek mujmal itu terbatas pada lafaz yang terdapat dalalah baginya, namun dalalah tersebut tidak clear seperti firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah43 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ[3] Artinya Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. Lafadz tersebut adalah mujmal. Adapun apa yang diriwayatkan dari beliau SAW. bahwa beliau mengajarkan shalat dengan perbuatan beliau ketika bersandar, "shalatlah seperti melihat aku shalat". Hadis dikeluarkan oleh al-Bukhari. Merupakan penjelasan terhadap ke-mujmal-an tersebut. Terdapat firman Allah SWT dalam Al-Baqarah 43 yang artinya " tunaikanlah zakat ". Lafadz tersebut adalah mujmal, sedangkan apa yang terdapat pada hadits-hadits Rasulullah Saw. Sekitar kelompok yang dikeluarkan zakatnya merupakan penjelasan terhadap mujmal firman Allah tersebut. Sungguh, Rasulullah Saw bersabda, " tidak seorangpun yang memiliki emas dan juga perak yang tidak menunaikan dari emas dan perak tersebut haknya, kecuali pada hari kiamat kelak akan diratakan untuknya batu dari api neraka." Hadis dikeluarkan oleh muslim. Jika terdapat penjelasan dengan sabda beliau sekaligus perbuatan beliau, paduan antara sabda dan perbuatan maka itu dikaji terlebih dahulu. Jika ada kesesuaian pada penunjukan atas hukum yang sama, yang lebih dulu dari keduanya adalah penjelasan, baik sabda beliau maupun perbuatan beliau. Sebab, telah diketahui apa yang dimaksudkan oleh Nash global tersebut dan yang kedua adalah untuk memperkuat. Akan tetapi, apabila ada perbuatan dalam dalalah atas suatu hukum, sebagaimana yg diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Bahwa beliau, setelah turunnya ayat haji, bersabda, " barang siapa berhaji dengan haji qaran lalu umrah, hendaknya dia thawaf satu kali". Namun, diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Bahwa beliau berhaji dengan haji qaran, tetapi beliau thawaf dua kali dan mengerjakan sa'i dua kali. Dalam keadaan ini, perlu dikaji terlebih dahulu. Apabila tidak diketahui mana yang lebih dulu dari keduanya, apakah sabda beliau atau perbuatan beliau, yang diambil adalah sabda beliau. Sebab, perkataan itu ditunjukkan penjelasan berbeda dengan perbuatan. Perbuatan tidak dapat menunjukkan posisinya sebagai penjelas. Untuk menunjukkan dirinya sebagai yang menjelaskan dibutuhkan sarana. Oleh karena itu, keberadaan perbuatan itu diketahui sebagai penjelas atas yang global melalui salah satu dari tiga hal. Pertama, perbuatan tersebut diketahui dengan mudah dari apa yang dimaksud. Artinya, bahwa perbuatan tersebut tidak akan sempurna keberadaanya sebagai penjelas tanpa diikuti dengan pengetahuan secara dzaruri atas yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan penjelasan di dalamnya. Kedua, Rasulullah Saw bersabda bahwa perbuatan tersebut merupakan penjelasan untuk yang global. Ketiga, beliau menyebut yang mujmal saat memerlukan untuk mengerjakan yang mujmal tersebut. Lalu, beliau mengerjakan Secara riil perbuatan tersebut sebagai penjelas bagi yang global dan beliau tidak mengerjakan pekerjaan yang lain. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa perbuatan tersebut adalah penjelasan baik yang global. Namun, apabila di ketahui bahwa salah satu nya lebih dahulu dari yg lain, dikaji terlebih dahulu. Jika perkataan terlebih dahulu dari perbuatan, thawaf yang kedua memang tidak wajib dan perbuatan Rosul Tersebut harus mengandung pengertian sebagai yang mandub. Akan tetapi, apa bila yang lebih dulu perbuatan, perkataan tersebut merupakan naskah atas wajib nya thawaf yg kedua yang telah ditunjuk oleh perbuatan beliau atau perbuatan rasul tersebut mengandung penjelasan bayan wajibnya thawaf yang kedua khusus untuk beliau dan bukan untuk umat beliau. Mujmal adalah lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya atau sesuatu yang tersembunyi yang dikehendaki karena banyak makna dan tidak bisa diketahui kalau tidak melalui penjelasan. Lafal yang tidak dapat menunjukkan terhadap maksudnya melalui sighat nya, tidak ada qorinah lafzhiyyah tekstual atau qorinah haliyyah kontekstual yang menjelaskannya. Atau lafal yang tidak terang arti yang dimaksudkan, oleh karena keadaan lafal itu sendiri, dan tidak mungkin dapat diketahui arti yang dimaksudkan kecuali dengan adanya penjelasan dari Syara'. Jadi dalam kesamaran adalah bersifat lafal tekstual, bukan hal yang datang kemudian. Diantara mujmal adalah lafal yang ghorib asing yang di tafsirkan oleh Nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafal " al-qari'ah" dalam firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Baqarah 2 43. Apabila terhadap lafal mujmal itu mendapat penjelasan dari Syara' Secara sempurna maka mujmal menjadi mufassar. Ayat di atas di jelaskan melalui hadis nabi baik dengan perkataan maupun perbuatan yang menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun, syarat, dan caranya. Rasulullah yang artinya "salatlah seperti kamu melihat aku melakukan salat" HR. Bukhari . Karena lafal mujmal mendapat penjelasan dari Syara' tetapi tidak secara sempurna dan pasti makna masih perlu ijtihad untuk menjelaskannya. Jika demikian yang terjadi, mujmal menjadi musyikil. Sebagai contoh lafal "Arribaa" dalam ayat Al-Baqarah 2 275. Artinya " dan mengharamkan riba". Dalam masalah ini, maka lafal " Arribaa " di jelaskan dalam hadis yang artinya " emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semuanya harus sama ukurannya dan harus berhadap muka. dari Ubaidilah bin shamit Ra. Akan tetapi hadits di atas tidak menjelaskan secara sempurna dan pasti arti ribba itu sendiri, sehingga masih memerlukan ijtihad. Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafaz yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. AI Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal.[4] Bayan adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk samar menjadi bentuk yang jelas. Dengan kata lain, bayan adalah bentuk ilmu suatu yang pasti atau dan dugaan yang kuat yang dihasilkan dari suatu dalil. Oleh karena itu, sebagian ulama' usul fiqh mengkonvensikan bahwa bayan adalah dalil itu sendiri. Yang terdapat dalam Al-Baqarah43 yang artinya "dan laksana kan shalat". [5] a. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam Al-Qur'an Surat An Nisa’ 4 176, artinya “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah Katakanlah "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kaIaIah yaitu jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang Iaki-Iaki mengusaisai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara Iaki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” QS. An-Nisa’ 4 176 Lafaz “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash; “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, yaitu jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang Iaki-Iaki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara-saudara laki-Iaki dan perempuan, maka bagian seorang saudara Iaki-Iaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan “Kalalah adalah orang yangtidak mempunyai anak.” Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Penjelasan dengan perkataan bayan bil qaul, contohnya pada Al-Qur'an Surat Al Baqarah ayat 196 ”dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung terhalang oleh musuh atau karena sakit, Maka sembelihlah korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya lalu ia bercukur, Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah merasa aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji di dalam bulan haji, wajiblah ia menyembelih korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu, Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. demikian itu kewajiban membayar fidyah bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” QS. Al Baqarah ayat 196. Ayat tersebut merupakan bayan penjelasan terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai kewajiban mengganti korban menyembelih binatang bagi orang-orang yang tidak menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu. Tidak ada mujmal di dalamnya. Sesungguhnya setiap orang yang meneliti konvensi para pemilik bahasa dan mengurus lafa-lafal bahasa Arab, tidak secara spontan dapat memahami ketika ada yang berkata pada yang lain, "diharamkan atas kalian makanan dan minuman dan diharamkan atas kalian wanita," selain pengharaman makan dan minuman, makanan dan minuman serta pengharaman berhubungan seksual dengan wanita. Oleh karena itu, pada dasarnya pada setiap hal yang langsung bisa dipahami adalah makna hakiki, baik berdasarkan penetapan secara bahasa maupun berdasarkan kebiasaan dalam pemakaian, yaitu pemahaman orang yang mencermati bahasa yang terbiasa dengan lafal-lafal bahasa Arab. Karena itu, makna "hurrimat" disini jelas dan lafal hurrimat memang menunjukkan pada hal tertentu. Sesungguhnya firman Allah dalam Al-ma'idah6 artinya “dan sapulah kepalamu”. Tidak ada mujmal di dalamnya, karena "baa" di sini adalah untuk meletakan, ayat tersebut tidak mengharuskan adanya kewajiban membasuh kepala secara keseluruhan karena perkataan biji barashun padanya ada lepra atau bihi da'un padanya ada penyakit tidak mengharuskan bahwa lepra tersebut meliputi seluruh badannya atau penyakit tersebut meliputi seluruh badannya. Demikian pula, dengan usaplah kepalamu itu bukan berarti mengharuskan mengusap semua kepala. Terlebih lagi, bahwa pemakaian orang Arab terjadi dengan mengharuskan melekatkan mengusap saja tanpa memperhatikan apakah secara keseluruhan atau sebagian. Oleh karena itu, apabila ada orang yang perkataan pada orang lain, ”usaplah tangan mu dengan sapu tangan,” tidak satupun pemilik bahasa memahami bahwa dia mengharuskan untuk melekatkan tangannya dengan semua bagian sapu tangan, tetapi cukup dengan sapu tangan saja. Jika mau, dengan semuanya dan bisa juga dengan sebagian sapu tangan saja. Demikian pula, tidak ada mujmal, pada sabda Rasulullah Saw,. “Sesungguhnya Allah itu telah menetapkan atas ummatku kesalahan dan lupa”. Hadis dikeluarkan oleh Ibnu Majah. Penjelasan dengan perbuatan bayan fi’li Contohnya Rasulullah SAW. melakukan perbuatan-perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu yakni memulai dengan yang kanan, batas-batas yang dibasuh, Rasulullah SAW. mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 43 “. . .dan dirikanlah shalat. . .” QS. Al-Baqarah 43 Perintah mendirikan shalat tersebut masih kalimat global mujmal yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara shalat yang dimaksud, maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan shalat hingga sempurna, lalu bersabda “Sholatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” HR Bukhari. Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan cara menulis surat Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat dan dikirimkan kepada petugas zakat beliau. Penjelasan dengan isyarat contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan hari. 6 Bayan dengan Meninggalkan Perbuatan. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam waktu yang relative lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau meninggalkannya. 7 Bayan dengan Taqrir/tidak melarang/Diam. Penjelasan dengan diam taqrir. Yaitu ketika Rasulullah SAW. Melihat suatu kejadian, atau Rasulullah Saw mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah SAW. mendiamkannya tidak mengomentari atau memberi isyarat melarang, itu artinya Rasulullah Saw tidak melarangnya. Kalau Rasulullah Saw diam tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah Saw masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya. BAB III KESIMPULAN Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam atau majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafaz yang global, masih membutuhkan penjelasan bayan atau penafsiran tafsir. Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafaz yang dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. AI Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal. Adapun saran penulis kepada pembaca agar pembaca dapat mengetahui materi yang telah tertulis diatas tersebut yaitu mengenai tentang mujmal dan mubayyan Selain dari pada itu, penulis memohoh maaf apabila terdapat kesalahan karena kami masih dalam proses pembelajaran. Dan yang kami harapkan dengan adanya makalah ini, dapat menjadi wacana yang membuka pola pikir pembaca dan memberi saran yang sifatnya tersirat maupun tersurat. [1] Jumantoro Totok dan Munuramin Samsul. Kamus Ilmu Usul Amzah. [2] Supriyadi, Dedi. Usul Fiqh Perbandingan. Bandung CV Pustaka Setia. 2014 hlm 126 [3] Prof. DR. Rachmat syafe’I, MA. Ilmu usuk fiqih,Bandung CVPustaka Setia 2014 hlm 166 [4] [5] Supriyadi, Dedi. Usul Fiqh Perbandingan. Bandung CV Pustaka Setia.
kedudukanta'wil. ulama ushul telah sepakat bahwa ta'wil itu hanya berlaku dalam soal-soal furu'. Adapun mengenai soal-soal ushul (pokok-pokok syara') seperti soal sifat Allah, surga, neraka, dan sebagainya, maka terdapat tiga pendapat sebagai berikut: [8] a. tidak berlaku ta'wil dalam soal-soal ushul. b. Berlaku dalam soal-soal ushul
Secara etimologis, lafadz Mujmal berarti al-jam' plural. Secara terminologis, adalah sesuatu yang menunjukkan lebih dari satu madlûl maksud, tanpa adanya pengistimewaan satu atas yang lainnya, dimana madlûl maksud-nya memerlukan penjelasan. Dikatakan "sesuatu yang menunjukkan" dan tidak dikatakan "lafadz yang menunjukkan" karena Mujmal tidak hanya berkaitan dengan lafadz, tetapi juga perbuatan. Ini jelas berbeda dengan 'Am- Khâsh atau Muthlaq-Muqayyad, yang masing-masing berkaitan dengan lafadz. Dikatakan "lebih dari satu madlûl maksud" karena dengan begitu deskripsi tersebut akan mengeluarkan lafadz mutlak yang hanya menunjukkan satu madlûl maksud, seperti Raqabah -yang hanya berarti budak, selain orang merdeka- sementara lafadz Sulthân -yang bisa berarti hujah dan penguasa- telah menunjukkan lebih dari satu madlûl maksud, dan karenanya disebut Mujmal. Dikatakan "tanpa adanya pengistimewaan satu atas yang lainnya" agar bisa mengeluarkan lafadz yang salah satu madlûl maksud-nya diunggulkan atas yang lain, seperti Haqîqah dan Majâz atau Dalâlah Iqtidhâ' yang dipalingkan dari konotasi kalimat berita menjadi thalab. Dikatakan "madlûl maksud-nya memerlukan penjelasan" agar bisa mengenyahkan lafadz umum dari deskripsi, karena sekalipun lafadz tersebut meliputi jenis derivatnya, namun ia tidak memerlukan penjelasan. Berbeda dengan Mujmal, yang memang memerlukan penjelasan. Misalnya, al-'ayn mata yang khasiatnya untuk melihat, adalah lafadz umum. Bukan lagi lafadz Mujmal, karena tidak perlu penjelasan, atau qarînah untuk menentukan maksudnya. Berbeda jika dikatakan apa komentar anda tentang al-'ayn? Dalam konteks pertanyaan ini, lafadz al-'ayn adalah Mujmal, karena pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab, kecuali setelah diberi penjelasan atau keterangan dengan qarînah lain. Melalui batasan di atas, maka konteks Mujmal bisa meliputi dua aspek, perbuatan dan perkataan, atau bahasa verbal dan lisan. Dalam konteks yang pertama, bahasa verbal, tidak ada lafadz, sementara dalam bahasa lisan terdapat lafadz. Karena itu, Mujmal meliputi keduanya, lafadz dan perbuatan. Dengan demikian, istilah shîghat yang berkonotasi struktur harfiah, tidak berlaku dalam konteks Mujmal-Mubayyan. Maka, setelah menganalisis nas-nas syara', khususnya al-Qur’an, konteks Mujmal -sebagaimana konotasi yang telah dideskripsikan di atas- mempunyai bentuk sebagai berikut 1. lafadz Musyratak Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu makna. Lafadz Musytarak ini merupakan lafadz Mujmal yang membutuhkan penjelasan, melalui salah satu madlûl maksud-nya. Misalnya, lafadz Quru' dalam firman Allah } َﺔَﺛَﻼَﺛ ﱠﻦِﻬِﺴُﻔْﻧَﺄِﺑ َﻦْﺼﱠﺑَﺮَﺘَﻳ ُﺕﺎَﻘﱠﻠَﻄُﻤْﻟﺍَﻭ ٍءﻭُﺮُﻗ { Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri menunggu tiga kali Qurû'. al-Baqarah 228 adalah lafadz Mujmal, yang mempunyai konotasi suci dan haid, sebab masih memerlukan penjelasan melalui sejumlah indikasi qarînah. 2. Lafadz Murakkab adalah lafadz yang terbentuk lebih dari satu lafadz. Lafadz Murakkab ini merupakan lafadz Mujmal jika konotasinya memunculkan spekulasi lebih dari satu maksud; dimana untuk menentukannya perlu penjelasan. Misalnya, lafadz al-Ladzî biyadih[i] 'uqdat[u] an-nikâh orang yang di tangannya memegang otoritas tali perkawinan dalam firman Allah } َﻮُﻔْﻌَﻳ ْﻭَﺃ ِﺡﺎَﻜﱢﻨﻟﺍ ُﺓَﺪْﻘُﻋ ِﻩِﺪَﻴِﺑ ﻱِﺬﱠﻟﺍ { Atau dima`afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah. al- Baqarah 238 adalah lafadz Mujmal, yang mempunyai konotasi suami atau wali pihak perempuan. 3. kata ganti dhamîr yang merujuk lebih pada satu arah Kata ganti dhamîr yang merujuk lebih pada satu rujukan mudhmar minhu yang sederajat -karena memerlukan penjelasan melalui sejumlah indikasi lain- maka bisa disebut lafadz Mujmal. Misalnya, firman Allah } َﻛ ْﻦَﻣ ُﻢ ِﻠَﻜْﻟﺍ ُﺪَﻌ ْﺼَﻳ ِﻪ ْﻴَﻟِﺇ ﺎ ًﻌﻴِﻤَﺟ ُﺓﱠﺰ ِﻌْﻟﺍ ِﻪﱠﻠِﻠَﻓ َﺓﱠﺰِﻌْﻟﺍ ُﺪﻳِﺮُﻳ َﻥﺎ ُﺢِﻟﺎﱠﺼﻟﺍ ُﻞَﻤَﻌْﻟﺍَﻭ ُﺐﱢﻴﱠﻄﻟﺍ ُﻪُﻌَﻓْﺮَﻳ { Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan dinaikkan-Nya. Fâthir 10 Frasa Yarfa'uh[u] menaikannya terbentuk dari lafadz yarfa'[u] menaikkan dan h[u] nya. Dalam hal ini, kata ganti dhamîr h[u] nya -yang merupakan kata ganti laki-laki pihak ketiga tunggal- bisa merujuk kepada lafadz al-'amal as-shâlih amal kebajikan atau al-kalim[u] at-thayyib[u] perkataan-perkataan yang baik. Jika merujuk kepada lafadz al-'amal as-shâlih amal kebajikan berarti konotasinya adalah Allah akan mengangkat al-'amal as-shâlih amal kebajikan tersebut, dalam arti menerimanya. Jika merujuk kepada lafadz al-kalim[u] at-thayyib[u] perkataan-perkataan yang baik, berarti konotasinya adalah amal kebajikan tersebut akan mengangkat al-kalim[u] at-thayyib[u] perkataan- perkataan yang baik tadi kepada Allah. Dua konotasi ini, sama-sama benarnya atau sederajat. 4. spekulasi berhenti waqf dan mulai juga mengundang spekulasi maksud makna. Karena itu, ini juga merupakan bentuk Mujmal. Misalnya, firman Allah } َﻳ ﺎَﻣَﻭ ﺍ ﱠﻻِﺇ ُﻪَﻠﻳِﻭْﺄَﺗ ُﻢَﻠْﻌ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﻲِﻓ َﻥﻮُﺨِﺳﺍﱠﺮﻟﺍَﻭ ُﻪﱠﻠﻟ { Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. Ali 'Imrân 7 Berhenti setelah masing-masing bacaan Allâh, atau bacaan wa ar-râsikhûna fî al-'ilm[i] akan mempunyai implikasi maksud yang berbeda. Jika berhenti pada bacaan Allâh, konotasinya hanya Allah yang Maha Mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut. Jika berhenti pada bacaan wa ar- râsikhûna fî al-'ilm[i], berarti konotasinya Allah dan orang- orang yang mendalam ilmunya sama-sama mengetahui takwil ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut. Masing-masing, baik waqf maupun bermula -dengan masing-masing implikasi konotatifnya- memerlukan penjelasan dari indikasi yang lain. Konteks seperti ini juga bisa disebut Mujmal. 5. ambiguitas makna yang digunakan itu bisa saja terjadi karena lafadznya itu sendiri mubham kabur, tidak jelas maksud dan maknanya bagi pihak yang dikenai seruan al-mukhâthab, kecuali dengan penjelasan sebagai tafsir atas ambiguitasnya, atau melalui sejumlah indikasi lain. Misalnya, firman Allah } ﻲِﻓ ْﻢُﻜﻴِﺘْﻔُﻳ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻞُﻗ َﻚَﻧﻮُﺘْﻔَﺘْﺴَﻳ ِﺔَﻟَﻼَﻜْﻟﺍ َﺲْﻴَﻟ َﻚَﻠَﻫ ٌﺅُﺮْﻣﺍ ِﻥِﺇ َﻳ ْﻢَﻟ ْﻥِﺇ ﺎَﻬُﺛِﺮَﻳ َﻮُﻫَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎَﻣ ُﻒْﺼِﻧ ﺎَﻬَﻠَﻓ ٌﺖْﺧُﺃ ُﻪَﻟَﻭ ٌﺪَﻟَﻭ ُﻪَﻟ ْﻦُﻜ ﺍﻮُﻧﺎ َﻛ ْﻥِﺇَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻥﺎَﺜُﻠﱡﺜﻟﺍ ﺎَﻤُﻬَﻠَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﻨْﺛﺍ ﺎَﺘَﻧﺎَﻛ ْﻥِﺈَﻓ ٌﺪَﻟَﻭ ﺎَﻬَﻟ ْﻢ ُﻜَﻟ ُﻪ ﱠﻠﻟﺍ ُﻦﱢﻴَﺒُﻳ ِﻦْﻴَﻴَﺜْﻧُﻷﺍ ﱢﻆَﺣ ُﻞْﺜِﻣ ِﺮَﻛﱠﺬﻠِﻠَﻓ ًءﺎَﺴِﻧَﻭ ًﻻﺎَﺟِﺭ ًﺓَﻮْﺧِﺇ ٌﻢﻴِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﺑ ُﻪﱠﻠﻟﺍَﻭ ﺍﻮﱡﻠِﻀَﺗ ْﻥَﺃ { 155 Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki- laki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara- saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki- laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. an-Nisâ' 176 Lafadz Kalâlah adalah lafadz Mujmal, dan masih memerlukan penjelasan, yang kemudian maksudnya dijelaskan oleh Allah SWT. dalam ayat yang sama. 6. lafadz Manqûl yang dimaksud di sini adalah lafadz yang mengalami pengalihmaknaan dari konteks kebahasaan haqîqah lughawiyyah kepada konteks syara' haqîqah syar'iyyah. Di lihat dari aspek pengalihmaknaan lafadz tersebut, dari satu konteks kepada konteks lain, sehingga mempunyai implikasi makna A atau B, bisa dikatakan bahwa lafadz tersebut merupakan lafadz Mujmal yang masih memerlukan penjelasan. Misalnya » ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ِﺔَﺤِﺗﺎَﻓ ِﺓَءﺍَﺮِﻘِﺑ ﱠﻻِﺇ َﺓَﻼَﺻ َﻻ Tidak sah suatu shalat, kecuali dengan membaca Fâtihah al-Kitâb surat al-Fâtihah. at-Tirmîdzi dari Abû Hurairah Lafadz Shalât dalam konteks hadits ini adalah lafadz 'Umûm, karena berbentuk ism an-Nakirah dalam struktur kalimat negatif. Lafadz shalât di sini bisa diaplikasikan untuk semua kasus shalat, sehingga tidak sah shalat apapun kecuali dengan membaca surat al-Fâtihah. Ini jelas berbeda dengan lafadz Shalât dalam firman Allah } ﺍﻮُﻤْﻴِﻗَﺃَﻭ َﺓَﻼﱠﺼﻟﺍ { Dan dirikanlah shalat. Yûnus 87 yang merupakan lafadz Mujmal, karena masih memerlukan penjelasan, baik melalui perkataan maupun perbuatan Rasulullah saw. mengenai tatacaranya. Misalnya, bagaimana Rasulullah mengajarkan cara shalat kepada kaum Muslim, dan bagaimana beliau shalat di depan mereka, agar mereka mengikuti tatacara shalat seperti shalat beliau. Mengenai Mubayyan, atau sesuatu yang dijelaskan, adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan, baik secara terpisah maupun tidak. Dengan demikian, jika bentuk Mujmal tersebut telah hilang ambiguitasnya, kemudian maknanya menjadi jelas atau madlûl yang digunakannya telah dimenangkan, berarti bentuk tersebut menjadi Mubayyan. Karena itu, bentuk Mubayyan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi 1. perkataan Mubayyan dalam bentuk perkataan ini, misalnya bisa dicontohkan dalam firman Allah } ﺎًﻋﻭُﺰَﺟ ﱡﺮﱠﺸﻟﺍ ُﻪﱠﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇ ~ َﺨْﻟﺍ ُﻪﱠﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇَﻭ ﺎًﻋﻮُﻨَﻣ ُﺮْﻴ { Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. al-Ma'ârij 20-21 yang merupakan Bayân Qawlî terhadap kemujmalan lafadz Halû'[an] dalam firman-Nya } ﻮُﻠَﻫ َﻖِﻠُﺧ َﻥﺎَﺴْﻧِﻹﺍ ﱠﻥِﺇ ﺎًﻋ { Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. al-Ma'ârij 19 2. perbuatan Mubayyan dalam bentuk perbuatan ini, misalnya bisa dicontohkan dalam konteks penjelasan Rasul » ْﻢُﻜَﻜِﺳﺎَﻨَﻣ ﺍﻭُﺬُﺧْﺄَﺘِﻟ Hendaknya kalian mengambil tatacara ibadah haji kalian dariku. Muslim dari Jâbir yang merupakan Bayân Fi'lî terhadap kemujmalan perintah haji. 3. perkataan dan perbuatan Mubayyan dalam bentuk perkataan dan perbuatan ini, bisa terjadi 1 jika masing-masing perkataan dan perbuatan tersebut konteks maksudnya sama-sama layak untuk menjelaskan maksud kemujmalan seruan pembuat syartiat; dimana satu sama lain bisa saling menguatkan maksudnya. Misalnya ketika Rasul menjelaskan tatacara shalat dengan perbuatan beliau, kemudian diikuti dengan pernyataan beliau » ﻲﱢﻠَﺻُﺃ ﻲِﻧﻮُﻤُﺘْﻳَﺃَﺭ ﺎَﻤَﻛ ﺍﻮﱡﻠَﺻَﻭ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Bukhâri dari Mâlik Maka, masing-masing hadits tersebut merupakan Bayân Fi'lî dan Qawlî terhadap kemujmalan perintah shalat. 2 jika masing-masing berbeda konteks penunjukan maksudnya, maka masing-masing tidak bisa menjadi penjelasan, kecuali setelah melalui analisis usul terhadap kedua konteks dalil tersebut, baik untuk dikompromikan ataupun diunggulkan salah satunya. Penjelasan mengenai hal ini secara lebih rinci dalam pembahasan tarjîh, dalam bab berikutnya. Hanya sekedar contoh, dalam hal ini bisa diambil hadits Nabi, yang beliau nyatakan setelah turunnya ayat haji » َﻃ ْﻒ ُﻄَﻴْﻠَﻓ ٍﺓَﺮ ْﻤُﻋ ﻰ َﻟِﺇ ﺎﺠَﺣ َﻥِﺮَﻗ ْﻦَﻣ ﻰَﻌ ْﺴَﻳَﻭ ﺍًﺪ ِﺣﺍَﻭ ﺎ ًﻓﺍَﻮ ﺍًﺪِﺣﺍَﻭ ﺎًﻴْﻌَﺳ Siapa saja yang menyertakan haji dengan umrah, hendaknya thawaf sekali, dan sa'i sekali. at-Tirmîdzi Namun, ada riwayat lain mengenai perbuatan Rasul, bahwa beliau pernah haji dan umrah, namun tidak hanya thawaf dan sa'i, masing-masing sekali. Beliau justru telah melakukannya masing-masing dua kali. 8 Maka untuk mengetahui hal ini, bisa dijelaskan sebagai berikut a- jika diketahui, bahwa yang terdahulu adalah penjelasan lisan, maka penjelasan lisan tersebut adalah yang dikehendaki. Artinya, thawaf dan sa'i, masing-masing hanya sekali, sementara tambahannya adalah sunah. b- jika diketahui, bahwa yang terdahulu adalah penjelasan verbal, maka penjelasan lisan itulah yang dikehendaki. Adapun tambahan yang terdapat dalam penjelasan verbal yang lebih dulu tadi; bisa jadi merupakan kekhususan bagi Rasul, jika disertai indikasi takhshîsh, dan bisa jadi tambahannya -yaitu thawaf dan sa'i lebih dari sekali- tadi dihapus dengan penjelasan lisan. Alasannya, karena konteks penunjukan makna penjelasan lisan bagi ummat Nabi saw. itu lebih kuat ketimbang penjelasan verbal beliau. c- jika tidak diketahui mana yang terdahulu, maka lebih baik penjelasan lisan dianggap lebih dulu. Sebab, tambahannya -sebagaimana yang dinyatakan dalam penjelasan verbal- dalam konteks ini adalah sunah. Jika dibalik, artinya penjelasan verbalnya lebih dahulu, berarti tambahannya ada kemungkinan telah dihapus, atau dikhususkan untuk Nabi. Sementara, bagi ummat Nabi saw. menggunakan dua dalil sekaligus, lebih baik ketimbang menggugurkan salah satunya. Mubayyan konteks yang dijelaskan pada dasarnya merupakan bentuk Mujmal yang disertai penjelasan, baik secara terpisah maupun tidak. Karena itu, Mubayyan -atau Mujmal yang disertai penjelasan- tersebut bisa diklasifikasikan menjadi 1. Mubayyan Muttashil adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nas atau dalil. Misalnya, kemujmalan lafadz Kalâlah, telah dijelaskan dengan penjelasan yang terdapat dalam nas atau dalil yang sama. Allah berfirman } ِﺔَﻟَﻼَﻜْﻟﺍ ﻲِﻓ ْﻢُﻜﻴِﺘْﻔُﻳ ُﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻞُﻗ َﻚَﻧﻮُﺘْﻔَﺘْﺴَﻳ َﺲْﻴَﻟ َﻚَﻠَﻫ ٌﺅُﺮْﻣﺍ ِﻥِﺇ ٌﺪَﻟَﻭ ُﻪَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ْﻢَﻟ ْﻥِﺇ ﺎَﻬُﺛِﺮَﻳ َﻮُﻫَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎَﻣ ُﻒْﺼِﻧ ﺎَﻬَﻠَﻓ ٌﺖْﺧُﺃ ُﻪَﻟَﻭ ﱡﺜﻟﺍ ﺎَﻤُﻬَﻠَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﻨْﺛﺍ ﺎَﺘَﻧﺎَﻛ ْﻥِﺈَﻓ ٌﺪَﻟَﻭ ﺎَﻬَﻟ ﺍﻮُﻧﺎ َﻛ ْﻥِﺇَﻭ َﻙَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ِﻥﺎَﺜُﻠ ْﻢ ُﻜَﻟ ُﻪ ﱠﻠﻟﺍ ُﻦﱢﻴَﺒُﻳ ِﻦْﻴَﻴَﺜْﻧُﻷﺍ ﱢﻆَﺣ ُﻞْﺜِﻣ ِﺮَﻛﱠﺬﻠِﻠَﻓ ًءﺎَﺴِﻧَﻭ ًﻻﺎَﺟِﺭ ًﺓَﻮْﺧِﺇ ٌﻢﻴِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﺑ ُﻪﱠﻠﻟﺍَﻭ ﺍﻮﱡﻠِﻀَﺗ ْﻥَﺃ { Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki- laki mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara- saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki- laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. an-Nisâ' 176 160 Kalâlah adalah orang yang meninggal dunia, yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh 'Umar bin al-Khaththâb, seraya menyatakan » ُﻪَﻟ َﺪَﻟَﻭ َﻻ ْﻦَﻣ ُﺔَﻟَﻼَﻜْﻟَﺍ Kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai 2. Mubayyan Munfashil adalah bentuk Mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu nas atau dalil. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil Mujmal. Dalam hal ini, bisa berupa 1 al-Qur'an dengan al-Qur'an Dalil Mujmal al-Qur'an yang dijelaskan dengan penjelasan al-Qur'an, misalnya firman Allah } ﺍ ﱠﻻِﺇ ُﻪَﻠﻳِﻭْﺄَﺗ ُﻢَﻠْﻌَﻳ ﺎَﻣَﻭ ِﻢْﻠِﻌْﻟﺍ ﻲِﻓ َﻥﻮُﺨِﺳﺍﱠﺮﻟﺍَﻭ ُﻪﱠﻠﻟ { Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya.. Ali 'Imrân 7 Allâh wa ar-râsikhûna fî al-'ilm[i] Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah konteks Mujmal karena ambiguitas huruf Waw, yang bisa berkonotasi 'athaf kata penghubung, atau isti'nâf kata permulaan kalimat baru. Jika Waw tersebut dipercayai sebagai kata penghubung, maka konotasi kalimat tersebut adalah "hanya Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya", namun jika Waw tersebut dipercayai sebagai 9 Ibn Qudâmah, alMughnî, juz VI, hal. 168. Lihat, Rawwâs Qal'ah Jie, Mawsûah Fiq 'Umar ibn alKhaththâb, Dâr anNafâ'is, Beirut, cet. V, 1997, hal. 747748. kata permulaan kalimat baru, maka konotasinya adalah "hanya Allah yang mengetahui takwilnya, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya -yang nota bene tidak mengetahuinya- mengatakan Kami beriman." Karena itu, ini diperlukan penjelasan. Dan, penjelasannya tidak terdapat dalam satu nas. Antara lain, firman Allah SWT } َﻠَﻋ ﺎَﻨْﻟﱠﺰَﻧَﻭ ٍءْﻲَﺷ ﱢﻞُﻜِﻟ ﺎًﻧﺎَﻴْﺒِﺗ َﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ َﻚْﻴ { Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab Al Qur'an untuk menjelaskan segala sesuatu. an-Nahl 89 Pernyataan Allah yang menyatakan, bahwa al-Qur'an adalah tibyân[an] likull[i] syay'[in] untuk menjelaskan segala sesuatu, dan ia diturunkan kepada manusia, menunjukkan bahwa tidak ada kandungan al-Qur'an yang tidak dapat difahami oleh manusia, termasuk di antaranya ayat-ayat Mutasyâbihât. Dengan demikian, ayat-ayat Mutasyâbihât tersebut tidak hanya diketahui oleh Allah, tetapi juga dapat difahami orang-orang yang ilmunya mendalam. Indikasi yang kedua, bahwa konteks pernyataan Allah Yaqulâna âmannâ mereka mengatakan beriman, juga menguatkan konotasi di atas. Sebab, untuk menyatakan beriman, tidak memerlukan ilmu yang mendalam. Artinya, orang biasa dengan kadar intelektual biasapun bisa mempunyai keimanan yang mendalam. Inilah yang juga dibuktikan oleh keimanan orang Arab Badui. Semuanya ini merupakan indikasi yang menguatkan penjelasan, bahwa Waw yang terdapat dalam nas di atas merupakan kata penghubung. Dengan demikian, penjelasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan kemujmalan Allâh wa ar-râsikhûna fî al-'ilm[i] Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya adalah penjelasan melalui sejumlah indikasi sebagaimana yang dijelaskan di atas. Ini sekaligus menunjukkan, bahwa ini merupakan Mubayyan Munfashil, karena penjelasannya tidak terdapat dalam nas yang sama, melainkan dalam nas-nas lain. 2 al-Qur'an dengan as-Sunnah dalil Mujmal al-Qur'an yang dijelaskan dengan as-Sunnah, misalnya firman Allah } ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ ﺎَﻣ ْﻢُﻬَﻟ ﺍﻭﱡﺪِﻋَﺃَﻭ ٍﺓﱠﻮُﻗ { Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. al-Anfâl 60 Dalil ini dijelaskan dengan dalil lain, yaitu as-Sunnah » ِﻪ ﱠﻠﻟﺍ َﻝﻮ ُﺳَﺭ ُﺖْﻌِﻤ َﺳ r ُﻝﻮ ُﻘَﻳ ِﺮ َﺒْﻨِﻤْﻟﺍ ﻰ َﻠَﻋ َﻮ ُﻫَﻭ } ٍﺓﱠﻮُﻗ ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻌَﻄَﺘْﺳﺍ ﺎَﻣ ْﻢُﻬَﻟ ﺍﻭﱡﺪِﻋَﺃَﻭ { ُﻲْﻣﱠﺮﻟﺍ َﺓﱠﻮُﻘْﻟﺍ ﱠﻥِﺇ َﻻََﺃ ُﻲْﻣﱠﺮﻟﺍ َﺓﱠﻮُﻘْﻟﺍ ﱠﻥِﺇ َﻻَﺃ ُﻲْﻣﱠﺮﻟﺍ َﺓﱠﻮُﻘْﻟﺍ ﱠﻥِﺇ َﻻَﺃ Saya 'Uqbah mendengar Rasulullah saw. bersabda -sementara beliau masih di atas mimbar- Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Di dunia barat banyak berdiskusitentang wanita Islam . Mereka bicara tentang Wanita Muslim yang harus Berkerudung,Kedudukan, hak hak seorang Wanita Muslim ,tentang Poligami dan tentang arti Wanita Islam dalam Agama . Secara ringkasnya pertanyaan mereka adalah dan wanita punya hak yang samadalam Islam? pembagian tugas antara pria dan wanita dalam keluarga? 3. Apa peran seorang Wanita Muslim sebagai ibu rumah tangga ? 4. Apakah kewajiban agama juga berlaku untuk seorang wanita? 5. Dapatkah seorang wanita Muslim memilih suaminya sendiri? arti mas kawin dalam Islam? 7 Dapatkah seorang Wanita Muslim menikah dengan non Muslim? izin berpoligami dalam Islam ? seorang Wanita Muslim tidak boleh mempunyai beberapa suami ? 10. Bolehkan seorang pria Muslim memukul istrinya? 11. Bolehkah seorang Wanita Muslim minta diceraikan ? 12 Apa yang terjadi dengan anak nya jika terjadi perceraian ? 13 Mengapa Wanita Muslim mengenakan jilbab? 14 Apakah seorang Wanita Muslim berhak untuk menjangkau pendidikan setinggi mungkin dan bekerja sesuai dengan Pendidikannya? seorang Wanita Muslim berhak mendapat Waris ? arti Validitas kesaksian seorang perempuan dalam hukum Islam? seorang wanita Muslim pergi ke masjid? arti Pemisahan antar Laki dan Wanita Segresi gender dalam Islam? para wanita berdoa di belakang barisan laki-laki? seorang gadis Muslim memiliki hubungan yang intim dengan anak laki-laki? seorang anak perempuan Muslim menikuti pelajaran senam dan pelajaran renang ? seorang wanita Muslim diperiksa , diobati oleh dokter laki-laki? seorang wanita Muslim untuk mengambil tindakan untuk mencegah kehamilan Pil Anti Baby ? aborsi diperbolehkan dalam Islam? pendapat Ajaran Islam tentang adopsi? Pertanyaan Pertanyaan iniselalu di ajukan di Masyarakat di Barat yang di perincikan dalam dari satu bukuberbahasa Jerman . Sebagai umat Islam dalam menangapi pertanyaan ini harus bertindak intelektual , sebab mereka di dunia barat yang berkebudayaan lain , kebanyakan tidak tahu dan tidak mengerti tentang pertanyaan ini dengan baik akan menghilangkan Prasanka yang jelek tentang Wanita Islam. Lihat Sosbud Selengkapnya